Laman Catatan Perjalanan

Rizki Dwika Aprilian

(n) an Architecture-Interiorist. Makhluk Tuhan Paling Bekasi. Menulis, Jalan-jalan, Ber-arsitektur.

Selasa, 24 April 2018

#CurhatDong: O Gini Rasanya Jadi 24

  • April 24, 2018
  • by


Mulanya, hari-hari berjalan seperti biasa.
Tapi seminggu yang lalu, ketika gue terbangun dari tidur jam tujuh pagi, gue lantas tersadar akan suatu hal.
Anying. Umur sekarang umur gue udah 24.
Seminggu lalu, tepatnya di tanggal 17 adalah hari di mana gue sudah 24 tahun terlahir ke dunia. Ya, sebetulnya ada miskonsepsi mengenai umur di masyarakat kita sih, entah itu disadari atau nggak. Soalnya, hari kelahiran biasanya dianggap sebagai awal dari umur baru, padahal yang terjadi adalah kebalikannya. Hari kelahiran itu sebetulnya merupakan hari terakhir kita berada di usia tersebut. 
Misalnya gini deh. Seorang bayi lahir di tanggal 25 bulan 4. Setelah menjalani kehidupan selama setahun, kemudian keluarganya pun merayakan ulang tahun sang anak yang ke-1. Padahal, secara teori, saat itu umur sang anak sudah berada di dunia yang tubir ini selama setahun dan mulai menapaki kehidupannya yang ke 2 tahun. Dengan demikian, sebetulnya gue kini sudah menjelang usia 25 dan gue sedang menjalani kegalauan umur seperempat abad.
Ketahuilah bahwa fenomena "anjir-bentar-lagi-gue-udah-25" is real, saudara-saudara. Itu bukanlah isapan jempol, suatu hal yang mengada-ada, apalagi dilebih-lebihkan. Kerap kali keputusan-keputusan penting mulai dari karier, pendidikan, jodoh, urusan perduitan, dan lain sebagainya dikeluarkan pada rentang usia tersebut. Gue sendiri mungkin sudah memutuskan pilihan apa yang harus gue ambil ke depannya, yang pastinya nggak bisa gue bocorkan seluruhnya ke masyarakat ramai (karena nggak ada yang peduli juga sih, emangnya gue Nikita Mirzani, ngomong dikit menghebohkan Lambe Turah). Tapi bocorannya adalah... sejauh ini gue nggak kepingin menjalani kehidupan kantoran lagi dan memilih untuk konsisten menjadi pekerja lepas sampai dapet kesempatan buat sekolah.
***

Sebetulnya kerja di kantoran itu kelihatannya emang enak. Gajinya tetap, lingkungan kerjanya jelas, kerjaannya pun jelas karena ada prosedurnya. Selain karena gue bosenan dan nggak betah duduk depan layar komputer selama 10 jam lebih setiap harinya (iya, postur tubuh favorit gue ketika lagi ngerjain suatu desain adalah tengkurep di lantai plus bantal, bukan duduk manis dengan kemeja panjang di kursi kantoran. Udik emang). Tapi, setelah gue menjalani setahunan menjadi budak korporat, gue memilih untuk resign dan mengejar target besar gue sambil menjadi freelancer palugada, apa lu minta, gue ada.
Kerjaan nulis kisah perjalanan secara berbayar, ng-endorse situs perjalanan dengan nulis testimoni sebagai buzzer, ngawasin kerjaan kontraktor di proyek, ngasdos, ngebantu riset dosen, ngedesain dan disuruh ikut koordinasi lapangan ke Surabaya secara cuma-cuma, hingga berkesempatan keliling berbagai kota di Sumatera dan Jawa selama tiga bulanan pun sudah gue lakukan demi keberlangsungan hidup dan dapur di rumah. Selama hampir dua tahun menjadi freelancer palugada, berbagai tawaran dan kesempatan yang mustahil gue terima jika gue menjadi full-timer di sebuah kantor pun satu per satu gue dapatkan. Kedengaran menyenangkan? Kenyataannya, nggak juga.
Namanya juga pekerja lepas, rezeki pun kadang ada yang nyantol, ada yang lepas. Terkadang duit di tabungan mengalami paceklik alias kemarau panjang sampai gue pun gagal panen waktu narik duit di ATM, terkadang ada masa di mana rekening gue bermandikan uang hingga tumpeh-tumpeh, bawaannya ingin lempar-lemparin lembaran Sukarno-Hatta ke muka setiap netizen layaknya Bu Dendy. Iya, siklus per-rekening-an gue sebagai seorang freelancer dalam satu tahun benar-benar nggak jelas. Apalagi masih harus dihadapi dengan kondisi invoice (tagihan jasa kita ke client) yang suka telat cair.
"Hadeh, kalau begini, besok Ara sama Agil makan apa, Abah....."
Masalah itu belum seberapa. Sebagai freelancer, kadang gue kelepasan buat menolak atau menerima suatu pekerjaan mengingat kebutuhan gue dengan lembaran bernama uang.
"Wah, ada peluang ini nih, ambil ah.""Eh kok kedengerannya seru sih. Oke gue gabung.""Oke saya siap, bisa kok kalo kerjaannya tiga bulan doang..."
"Mmmm diterima ga ya"
Eh... Tiba-tiba kerjaan gue dalam sebulan udah empat biji aja... Bidang kerjaannya beda-beda semua lagi.... Aduh ini gimana bagi waktunya.
Begitulah hidupku beberapa bulan ini. Jadi dewasa kok kayanya melelahkan banget ya......
***

Jika menarik panjang waktu ke belakang, emang nggak ada waktu yang mengalahkan betapa enaknya masa-masa SD di mana masalah terbesar yang dihadapi paling banter cuma ulangan MTK dan radang tenggorokan, itu juga gara-gara kebanyakan jajan ciki di sekolah. Nggak ada kata revisi, bayar tagihan itu ini, apalagi masalah client yang kabur dan nggak bayar setelah desain diserahkan. Di tengah tren dedek-dedek berusia wajib belajar di zaman sekarang yang berupaya dengan keras menumbuhkan brewok, tampil dengan dandanan tante-tante, bahkan di sekolahan manggilnya pun udah Papah-Mamah, gue justru ingin melakukan yang sebaliknya.
Ya Allah,... Baim pengen kembali kecil seperti masa-masa yang lalu :(
Beruntungnya, di usia gue yang berjalan menuju angka 25 ini gue masih memiliki muka yang kebocah-bocahan. Bukan berniat sombong, tapi emang gue mau jumawa sebab udah setahun belakangan ini gue sering dikira orang lain lebih muda ketimbang umur yang sebenarnya.

Pertama, di stasiun dan halte busway, gue pernah dipanggil sama Mbak-mbak maupun mas-mas stranger dengan panggilan "Dek".
Kedua, gue pernah dikira mahasiswa S1 sama orang di stasiun yang lagi nyari responden buat kuisioner skripsian-nya.
Ketiga, gue bayar angkot lima ribu, dikasih kembalian dua ribu. Dis-is-fo-real.
Keempat, lebih miris lagi, gue dikira mahasiswa S1 sama dosen yang gue asistenin. Kebayang nggak gimana rasanya?

Bukan cuma tampang aja, kelakuan gue di umur menuju 25 ini pun gue masih melakukan banyak rutinitas yang nggak pernah absen gue lakukan dari sejak kecil.
Jajan batagor, siomay sapu-sapu, pempek KW, telor gulung, segala jenis camilan mecin yang biasa mangkal di depan sekolah atau Pintu Gerbang Kutek, bahkan di usia di mana teman-teman sepantaran gue antusias ngikutin judul serial TV atau Netflix yang rumit, gue justru memilih untuk menghabiskan lebih dari empat jam buat nonton beberapa judul kartun di Nickelodeon atau Cartoon Network dalam sehari semalam, malahan gue masih bisa ketawa ngakak setiap nonton Spongebob maupun Gumball. Gue juga terkadang heran sama kelakuan gue sendiri.  O inikah hikmah dari bermuka bocah? 
***


Teman-teman yang gabut sehingga menyempatkan untuk membaca tulisan yang maha tidak jelas, ketahuilah bahwa tulisan ini memang tidak ada juntrungannya. Janji deh... tulisan setelah ini bakal lebih berfaedah. Tapi, pesan yang ingin gue sampaikan adalah...  persetan dengan usia. Usia hanyalah hitungan deret angka biasa, lebih tepatnya angka-angka yang digunakan oleh para om, tante, budhe, saudara-saudara, bahkan netijen untuk mengglorifikasi pertanyaan "MANA CALONNYA?""EEEEHHH, GIMANA, KAMU KAPAN NIKAH?"

Menjadi dewasa adalah keniscayaan, tetapi bukan berarti kita nggak bisa menikmati hidup yang menyenangkan, tanpa beban, nggak banyak spaneng menghadapi segala problematika kehidupan, sama halnya yang kita jalani sewaktu kita masih anak-anak. Kalo kita bisa menjalankannya bersamaan, kenapa nggak?
Yauda segitu aja ah, mau jajan cilor lagi. Nggak usah kayak netizen rese' yang terus menanyakan kapan-nikah-kapan-nikah deh, kalau ngana nggak ngesponsorin seragam pager ayu dan pager bagus atau bayarin katering. Intinya, mohon doanya supaya rekeningku setahun ke depan diwarnai dengan musim hujan yang deras yha!!!!!!!

0 komentar:

Posting Komentar